Peduli Kemanusiaan - Angka Kematian di Ghouta Timur Tembus 460 Jiwa

ACTNews, GHOUTA TIMUR - Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (The Syrian Observatory for Human Rights,
SOHR) kembali mengeluarkan statistik angka kematian di Ghouta Timur,
Suriah. Jumat (23/2), setidaknya 462 warga sipil tewas, termasuk di
antaranya 99 anak. Sementara itu, ribuan jiwa lainnya mengalami
luka-luka.
Serangan udara yang terus menerus
menggempur Ghouta Timur selama tujuh hari belakangan ini dinilai sebagai
kondisi perang terburuk di Suriah, bahkan melebihi Aleppo pada 2016
lalu. Jet tempur secara intens membombardir rumah warga hingga fasilitas
umum lainnya seperti masjid, rumah sakit, sekolah, dan bangunan
lainnya.
Mahmood Adam, anggota Pertahanan Sipil Suriah (Syrian Civil Defence), menjelaskan bagaimana kondisi terkini di Ghouta Timur seperti “malapetaka”.

“Kita berbicara mengenai rentetan
serangan sistematis yang menyasar warga sipil di rumah mereka, sekolah,
pusat layanan kesehatan, pasar, dan beberapa area pertahanan masyarakat
sipil. Ini sama saja seperti pembantaian massal,” terang Mahmood,
seperti yang dilansir dari Al Jazeera.
Tidak ada yang bisa dilakukan oleh
warga Ghouta Timur, yang sebagian besar merupakan para pengungsi
internal (IDP). Bahkan, untuk sekadar melindungi diri dari hantaman
roket perang pun mereka sulit.
Mahmood menambahkan, banyak keluarga
yang bersembunyi di ruang bawah tanah di mana mereka jarang melihat
sinar matahari selama berhari-hari. Itu semua karena mereka dilingkupi
rasa takut atas bombardir yang dilayangkan oleh jet-jet tempur rezim.

“Kami tidak tahu apakah kami masih
bisa hidup untuk sekadar mengabari dunia tentang apa yang terjadi di
sini dalam beberapa jam atau hari ke depan. Serangan udara tidak ada
habisnya. Jet tempur belum juga meninggalkan langit Ghouta Timur sejak
Ahad (18/2). Ini seperti perang terhadap warga sipil,” tutur Mahmood.
Nisma al-Hatri, salah seorang
penduduk Ghouta Timur, mengungkapkan betapa horornya beberapa hari
belakangan ini di lingkungan rumahnya. Dentuman bom menjadi alarm pagi
yang membangunkan suami beserta anak perempuannya, Sara (10), dari tidur
mereka.
“Setiap hari selalu saja seperti ini:
ada bom, lalu saya membersihkan rumah yang terkena hempasan material
bom di sekitar rumah, kemudian kami bersembunyi di satu ruangan,
berusaha menyelamatkan diri atau mungkin meninggal bersama,” ungkap
Nisma getir kepada Al Jazeera.

Ghouta Timur telah dikepung pihak
oposisi sejak 2013. Pasang surut perang berlanjut, melibatkan oposisi,
rezim, dan juga beberapa negara lainnya yang terkait. Pengepungan selama
lima tahun ini membuat bantuan kemanusiaan internasional sulit
mengakses Ghouta Timur.
Ditambah dengan kondisi konflik yang
makin intens seminggu belakangan ini, akses masuk pun semakin dibatasi.
PBB telah menekan pihak-pihak terkait untuk segera melakukan gencatan
senjata membuka akses terhadap bantuan kemanusiaan internasional,
mengingat seriusnya dampak perang.

Menanggapi krisis kemanusiaan di Ghouta Timur, Aksi Cepat Tanggap (ACT) telah memberangkatkan Tim Sympathy of Solidarity (SOS) for Syria menuju Suriah, Jumat (23/2) dini hari. Insya Allah, bantuan langsung berupa Dapur Umum dan makanan siap santap akan didistribusikan bagi para pengungsi yang mencoba menyelamatkan diri dari Ghouta Timur. Bantuan pangan menjadi salah kebutuhan pokok yang amat dibutuhkan para pengungsi Ghouta Timur saat ini. []
Sumber,